Ganesha Abadi – Pusat data Atlantika Institut Nusantara menerima dokumen yang menunjukkan lebih dari 50 personel Polri berpangkat perwira menengah hingga tinggi, baik yang masih aktif maupun pensiun, kini menduduki berbagai jabatan di instansi pemerintah. Data ini semakin memperjelas polemik terkait revisi UU Polri yang akan segera dibahas setelah DPR RI merampungkan revisi UU TNI.
Sejumlah jabatan yang diisi oleh personel Polri ini mencakup berbagai kementerian dan lembaga strategis, seperti Inspektur Jenderal di Kemenkes, Kementerian UMKM, dan Kemendagri; Direktur Jenderal di Kementerian Kelautan dan Perikanan; serta posisi di PPATK, Kementerian Perhubungan, hingga Dewan Perwakilan Daerah RI. Keberadaan mereka di berbagai sektor pemerintahan menimbulkan pertanyaan di kalangan aktivis, termasuk Andi, seorang pegiat kebijakan publik. Dalam diskusi informal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ia mempertanyakan apakah ini bisa disebut sebagai bentuk Dwi Fungsi Polri.
Wacana revisi UU Polri juga mengemuka di komunitas seniman, yang khawatir bahwa aturan baru bisa membatasi kebebasan berekspresi, terutama di dunia digital. Sholeh, salah satu peserta diskusi, menyoroti potensi kriminalisasi terhadap konten yang dianggap “mengganggu ketertiban,” sementara Yusuf Mudjiono dari Pewarna (Peraturan Wartawan Nasrani) turut menyoroti dominasi Polri dalam berbagai jabatan pemerintahan.
Di Sekretariat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia), yang dipimpin Sri Eko Sriyanto Galgendu, diskusi serupa terjadi. Sri Eko menegaskan bahwa revisi UU Polri harus melibatkan masyarakat, terutama mereka yang memahami hukum dan tata negara. Menurutnya, demokrasi yang sehat membutuhkan kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat dan pemikiran mereka tanpa tekanan.
Kritik terhadap Polri juga mengemuka terkait kasus kematian Rizki Watoni di Lombok Utara, yang diduga dipicu tekanan dari aparat. Insiden ini memicu aksi perusakan Kantor Polsek Kayangan, menunjukkan bahwa aspek pelayanan dan perlindungan oleh Polri masih dipertanyakan masyarakat.
Dalam konteks ini, visi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang konsep “Presisi” (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) menjadi sangat relevan sebagai landasan revisi UU Polri. Jika konsep ini benar-benar diterapkan, maka revisi UU Polri harus lebih mengedepankan transparansi, perlindungan hak masyarakat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di negeri ini.
(Jacob Ereste)