Surabaya – Cinta menjadi topik utama dalam gelaran Munio! edisi ke-5 yang berlangsung di pendopo Kampus Stikosa AWS, Jumat sore (14/2). Bertajuk “Cinta, Bersabarlah”, forum komunikasi dan belajar terbuka ini menghadirkan beragam perspektif tentang cinta dari berbagai profesi dan usia. Acara ini semakin menarik dengan kehadiran musisi Arul Lamandau yang membawakan lagu-lagu bertema cinta.
“Setiap hari kita sedang mengejar cinta masing-masing. Mahasiswa yang berjuang menyelesaikan skripsi, seseorang yang gigih dalam pekerjaannya, semua itu juga bentuk cinta. Dan untuk meraihnya, dibutuhkan kesabaran. Itulah alasan tema ini diangkat pada Hari Kasih Sayang,” ujar Athok Murtadhlo, dosen Stikosa AWS sekaligus moderator diskusi.
Diskusi lesehan ini dipandu oleh tiga moderator, yakni Athok Murtadhlo, Gagas Aji (dosen Stikosa AWS), serta Hari, mahasiswa RPL Stikosa AWS. Suasana berlangsung santai tanpa sekat antara dosen dan mahasiswa, memungkinkan diskusi bebas dengan candaan yang menghangatkan.
“Konsep Munio! memang seperti ini, hubungan dosen dan mahasiswa seperti sahabat. Mahasiswa bebas berbicara, dan diskusi ilmiah tidak harus selalu di dalam kelas,” kata Gagas Aji. Ia juga menyinggung pernyataan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, yang menyoroti bagaimana banyak orang kini menyampaikan aspirasi dengan amarah. “Lewat diskusi seperti ini, kita belajar menyampaikan pendapat dengan santun,” tambahnya.
Dua mahasiswa yang turut berbicara dalam forum ini adalah Damara, Ketua UKM Surabaya Muda, dan Sabrina dari Face of Indonesia. Mereka mengekspresikan cintanya kepada kampus dengan aktif berorganisasi. UKM Surabaya Muda, misalnya, fokus pada produksi konten digital berbasis jurnalistik serta event organizer, sementara Face of Indonesia mengemas konten edukatif, termasuk menyajikan skripsi mahasiswa dalam bentuk yang lebih menarik di media sosial.
Aulia Mawardhika, mahasiswi RPL Stikosa AWS sekaligus anggota legislatif dari Partai Golkar, menyoroti cinta dari perspektif politik. Menurutnya, politik tanpa cinta akan membuat seorang pemimpin kehilangan empati dalam melayani masyarakat.
Sementara itu, Zainal Arifin Emka, dosen jurnalistik dan penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW), menyampaikan pandangannya tentang cinta sebagai bentuk pengorbanan. “Jika harus memilih, lebih baik mencintai daripada dicintai. Karena mencintai berarti memberi. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?” ujarnya.
Di penghujung acara, penggagas Munio!, Dr. Sukowidodo, menegaskan bahwa program ini dirancang sebagai ruang dialog bebas bagi mahasiswa. “Ada kejadian seorang mahasiswi kaya di Surabaya bunuh diri karena takut akan masa depan. Ini jadi pengingat bahwa mahasiswa butuh tempat untuk menyuarakan unek-unek mereka,” jelasnya.
Kini, Munio! berkembang lebih jauh. Selain digelar secara off-air, program ini juga dikemas dalam bentuk acara televisi bertajuk “Munio On Screen”, yang mulai tayang di kanal YouTube munio.tv dan direncanakan akan disiarkan secara reguler di TVRI Jatim. Episode demi episode Munio On Screen kini diproduksi di Studio Laboratorium TV Stikosa AWS.
(Redho)