Ganeshaabadi – Janji yang kadaluarsa ibarat obat yang tak layak lagi dikonsumsi. Ia menjadi usang, diterbangkan angin seperti awan di langit, tidak lagi berguna. Bahkan, jika dipaksakan untuk dikonsumsi, janji yang kadaluarsa dapat menjadi racun yang melukai jiwa, terutama bagi mereka yang pernah dikecewakan oleh janji kosong.
Janji sering kali dihembuskan seperti angin surga, penuh fantasi indah yang memabukkan. Janji tersebut dapat membawa seseorang ke dalam euforia, layaknya remaja yang jatuh cinta. Namun, ketika realitas menghantam, kecewa yang datang bisa berujung pada kehancuran. Dalam kondisi seperti ini, iman menjadi penopang utama untuk melawan gejolak ego yang melanda.
Pentingnya laku spiritual sejak dini menjadi penegasan agar seseorang memiliki ketahanan menghadapi kekecewaan. Doa dan usaha harus berjalan beriringan, karena doa tanpa usaha hanyalah mimpi yang tak berujung. Gagal sekalipun, pengalaman tersebut akan menjadi pelajaran berharga.
Janji dan harapan sering diibaratkan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Namun, janji adalah hutang yang harus ditepati. Hutang janji, jika tak diselesaikan, dapat menjadi penghalang menuju surga. Janji juga merupakan bahan bakar yang menumbuhkan optimisme atau bahkan badai pesimisme.
Dalam kehidupan, janji yang diucapkan sering kali memiliki wujud yang abstrak. Seperti lidah tak bertulang, dari mulut bisa keluar ribuan janji manis yang tak pernah ditepati. Janji yang tak ditepati sama seperti obat yang diberikan terlambat; ia tak lagi berarti, bahkan bisa mematikan.
Lebih jauh, janji yang dibawa hingga mati menjadi persoalan serius. Hutang janji dapat menjadi beban di akhirat, seperti yang sering diingatkan saat prosesi pemakaman. Keluarga yang ditinggalkan biasanya meminta maaf atau mengikhlaskan hutang janji dari atau kepada almarhum.
Makna janji sebagai hutang menunjukkan betapa pentingnya kejujuran dalam kehidupan. Dalam konteks religius, janji yang terkandung dalam kitab suci menjadi fondasi spiritual yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Laku spiritual, seperti berpuasa, menjadi sarana mendisiplinkan diri. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi sebuah kejujuran terhadap diri sendiri, melatih kerendahan hati, dan memupuk ketangguhan batin. Dengan demikian, spiritualitas seseorang dapat mencapai tingkat yang kaffah, membangun karakter yang kuat baik secara fisik maupun batin.
(Jacob Ereste)