Surabaya – Sidang kasus hukum antara Effendi Pudjihartono, pemilik restoran Sangria by Pianoza, dengan Ellen Sulistyo, pengelola restoran tersebut, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Selasa (12/2). Dalam persidangan ini, Effendi mengajukan permohonan penangguhan penahanan dengan alasan kesehatan dan kebutuhan pengumpulan bukti.
Sidang menghadirkan dua saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu Mayor Agus Budi dari Kodam V/Brawijaya dan Murti dari KPKNL Surabaya. Agus Budi menjelaskan bahwa sejak 2017 terdapat dua perjanjian terkait sewa Barang Milik Negara (BMN) antara Kodam V/Brawijaya dan Effendi. Perjanjian pertama adalah MOU berdurasi 30 tahun dengan enam periode masing-masing lima tahun, sedangkan perjanjian kedua adalah Surat Perintah Kerja (SPK) yang mengatur perpanjangan per periode.
Saat memasuki periode kedua (2022–2027), Effendi tidak dapat memenuhi dua persyaratan utama, yaitu pembayaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah bangunan dari 325 m² menjadi 625 m². Akibatnya, pada 2023, bangunan yang digunakan sebagai restoran disegel oleh Kodam.
Dalam persidangan, terungkap bahwa penyegelan dilakukan tanpa adanya tiga kali peringatan tertulis sebagaimana diatur dalam SPK. Agus juga mengakui bahwa ia tidak mengetahui adanya perubahan dalam perjanjian yang semula berbentuk sewa menjadi bagi hasil.
Dari pihak terdakwa, penasihat hukum Effendi menyatakan bahwa kliennya tidak membayar PNBP karena tidak mengetahui jumlah yang harus dibayarkan. KPKNL Surabaya sebenarnya telah mengeluarkan surat penilaian sewa, tetapi informasi tersebut tidak disampaikan kepada Effendi. Sebagai bentuk itikad baik, Effendi menyerahkan emas senilai Rp 625 juta sebagai jaminan pembayaran PNBP pada 11 Mei 2023. Namun, keesokan harinya, Kodam tetap menyegel bangunan restoran tersebut.
Dalam persidangan, Effendi meminta majelis hakim mempertimbangkan penangguhan penahanannya karena alasan kesehatan. Ia mengaku masih mengalami gangguan kesehatan pascaoperasi batu ginjal dan sering mengalami kencing darah saat ditahan di Rutan Medaeng. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa penahanannya menyulitkan dirinya dalam mengumpulkan bukti untuk pembelaan hukum.
Majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkan permohonan ini seiring jalannya persidangan.
Kasus ini berawal dari perjanjian pengelolaan restoran antara Effendi Pudjihartono dan Ellen Sulistyo pada 27 Juli 2022. Dalam perjanjian tersebut, restoran masih beroperasi, bukan dalam kondisi nonoperasional. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris Ferry Gunawan menyebutkan bahwa Effendi akan menerima pembagian keuntungan minimal Rp 60 juta per bulan, mengingat investasinya dalam pembangunan gedung mencapai lebih dari Rp 10 miliar.
Namun, dalam perjalanan pengelolaan, ditemukan fakta bahwa omzet restoran tidak masuk ke rekening CV Kraton Resto, melainkan ke rekening pribadi Ellen Sulistyo di Bank Mandiri. Pihak Effendi menyebut bahwa omzet yang dikelola Ellen selama ini mencapai sekitar Rp 3 miliar.
Saat persidangan gugatan wanprestasi masih berlangsung di PN Surabaya, Ellen Sulistyo melaporkan Effendi ke Polrestabes Surabaya atas dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 ayat 1 KUHP) atau penipuan (Pasal 378 KUHP). Ia mengklaim mengalami kerugian sebesar Rp 998.244.418,11, yang terdiri dari transfer dana Rp 330 juta kepada Effendi, biaya renovasi Rp 353,3 juta, dan biaya pembukaan restoran Rp 314,8 juta.
Effendi sendiri merasa dirinya dikriminalisasi dalam kasus ini. Ia mengaku telah menginvestasikan Rp 10 miliar lebih untuk restoran, namun justru diminta menyerahkan bangunan ke Kodam, sementara omzet restoran dikelola pihak lain.
“Mulai membangun restoran, membeli peralatan, semuanya menghabiskan lebih dari Rp 10 miliar. Saya malah diminta menyerahkan bangunan ke Kodam, sementara omzet restoran dipegang Ellen Sulistyo. Kemudian saya dilaporkan dan ditahan. Jika ini bukan kriminalisasi, lalu apa?” ujar Effendi, Rabu (12/2).
Ia juga menegaskan bahwa dalam kasus wanprestasi ini, unsur “mens rea” atau niat jahat dalam dugaan penipuan tidak terbukti.
“Saya tidak menerima sepeser pun uang dari Ellen Sulistyo saat menandatangani perjanjian pada 27 Juli 2022, sedangkan ia sudah menerima aset saya senilai Rp 10,6 miliar sejak saat itu. Jadi, siapa yang sebenarnya dirugikan?” tambahnya.
Kasus ini masih terus bergulir, sementara majelis hakim mempertimbangkan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Effendi.
(Redho)