Tarif ojek online (ojol) yang dinilai tidak manusiawi telah menjadi permasalahan sejak tahun 2020 hingga kini, 2025. Para driver ojol mengeluhkan ketimpangan pendapatan yang semakin merugikan mereka, terutama dengan kenaikan harga BBM dan biaya perawatan kendaraan yang terus meningkat.
Saat ini, untuk jarak tempuh 3 km, pelanggan harus membayar Rp 20.000 kepada operator ojol, tetapi driver hanya menerima Rp 10.600. Sementara untuk perjalanan sejauh 20 km, pelanggan dikenakan tarif Rp 75.000, namun driver hanya memperoleh Rp 54.000. Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi ekonomi para pengemudi, yang dalam sehari rata-rata hanya mendapatkan 2 hingga 3 orderan, bahkan di hari sepi hanya memperoleh penghasilan Rp 30.000.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2017, tarif ojol untuk jarak 3 km masih memberikan penghasilan Rp 28.000 bagi driver. Namun, seiring berjalannya waktu, kebijakan tarif justru semakin menekan pendapatan mereka. Hal ini dinilai sangat tidak adil mengingat harga BBM sudah mengalami kenaikan hingga tujuh kali lipat sejak saat itu, tetapi tarif ojol tidak mengalami penyesuaian yang memadai.
Menurut Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH., pendapatan driver ojol saat ini jauh dari standar kelayakan. Biaya operasional, seperti perawatan kendaraan, oli, ban, dan rem, terus meningkat. Setiap harinya, seorang driver setidaknya harus menyisihkan Rp 30.000 untuk biaya perawatan, sementara pendapatan mereka jauh dari kata cukup.
Oleh karena itu, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH. mendorong pemerintah, khususnya Presiden RI Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, serta DPR dan MPR untuk segera menetapkan kebijakan tarif ojol yang lebih manusiawi. Ia mengusulkan tarif Rp 10.000 per km agar para driver bisa mendapatkan penghasilan yang layak dan tidak terus mengalami kerugian.
“Jika bukan kepada Presiden, kepada siapa lagi para driver ojol berharap?” tegasnya.
Narasumber: Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH.
(Red)