Gresik – Pendamping Hukum (PH) Dany Tri Hadianto, SH, bersama Ketua Passer 3 Indonesia, H. Achmad Fatoni, mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Gresik pada Jumat (7/2/2025) untuk meminta klarifikasi terkait perkara perdata Nomor 100/Pdt.G/2021/PN.Gsk. Perkara ini dinilai sarat kepentingan pribadi, bahkan diduga melibatkan gratifikasi atau kongkalikong dalam proses peradilan.
Salah satu kejanggalan yang mencuat adalah tanah senilai Rp10 miliar yang diklaim telah dibeli hanya seharga Rp60 juta. Lebih mencurigakan lagi, transaksi tersebut tidak pernah terjadi di hadapan notaris, tetapi Sertifikat Hak Milik (SHM) telah berganti nama dari H. Sadji Ali Afandi ke Ketut Indrako.
Pada kesempatan yang sama, Dany Tri juga mengajukan gugatan perlawanan terhadap eksekusi Ketua PN Gresik dalam perkara Nomor 8/Pdt.Eks/2024/PN.Gsk, yang mengacu pada putusan PN Gresik, Pengadilan Tinggi Surabaya, Mahkamah Agung, hingga Peninjauan Kembali.
Saat awak media berupaya menggali informasi lebih lanjut dengan menemui pimpinan PN Gresik, petugas menyatakan bahwa Ketua PN atau Humas tidak ada di tempat. Bahkan, Ketua Passer 3 Indonesia, H. Achmad Fatoni, juga mengalami kendala yang sama, hanya disuruh menunggu tanpa kepastian.
Lebih aneh lagi, menurut staf PN Gresik bernama Ambari, siapa pun yang ingin bertemu pimpinan atau Humas harus mengajukan permohonan tertulis terlebih dahulu. Prosedur ini dinilai menghambat transparansi, padahal Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menjamin hak wartawan dalam mencari informasi.
“Ada apa dengan PN Gresik? Mengapa akses informasi begitu sulit? Padahal, undang-undang jelas melarang penghalangan tugas jurnalistik,” ujar salah satu awak media di lokasi.
Ketua Passer 3 Indonesia, H. Achmad Fatoni, menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini agar berjalan adil tanpa manipulasi. “Kami sebagai kontrol sosial berkomitmen untuk membantu penegakan keadilan, terlebih dalam perkara ini,” tegasnya.
Sementara itu, Dany Tri menyampaikan bahwa kliennya, NR, telah mengajukan permohonan penundaan eksekusi. “Klien kami memiliki bangunan warung kopi di atas tanah sengketa sejak 2008, jauh sebelum perselisihan antara Ketut Indrako dan H. Sadji terjadi. Klien kami adalah pembeli sah dan beritikad baik, sehingga keberatan jika eksekusi dilakukan,” tandasnya.
Kasus ini terus menjadi sorotan, dan publik menantikan langkah lanjutan dari pihak terkait untuk memastikan keadilan benar-benar ditegakkan.
(Redho)