Ganesha Abadi – Wacana revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) tengah menjadi perbincangan publik. Namun, hingga kini, belum ada sosialisasi yang jelas terkait rencana tersebut, memicu keresahan masyarakat. Banyak pihak khawatir revisi ini dapat berdampak negatif terhadap hak-hak sipil, terutama jika dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi publik.
Salah satu pihak yang menyuarakan keprihatinan adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Sejak awal Maret 2025, Kontras telah mengirim surat kepada DPR RI untuk mendesak pembatalan pembahasan revisi UU Polri. Mereka menyoroti kekhawatiran bahwa proses revisi ini akan mengulang kejadian serupa dengan revisi UU TNI, yang dinilai dilakukan secara tertutup dan minim keterlibatan masyarakat.
Publik juga mempertanyakan urgensi revisi UU Polri di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Kritik mengarah pada kebijakan pemerintah yang dinilai kontradiktif, di satu sisi mendorong efisiensi anggaran, tetapi di sisi lain justru mengalokasikan dana besar untuk pembahasan regulasi yang berpotensi membatasi kebebasan sipil.
Gerakan protes terhadap rencana revisi ini mulai bermunculan di berbagai daerah. Masyarakat merasa revisi ini hanya akan memperbesar wewenang kepolisian tanpa ada mekanisme pengawasan yang jelas. Apalagi, sejumlah survei, seperti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023, menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian masih berada di posisi rendah dibandingkan lembaga hukum lainnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Reform for Police) juga menyuarakan keberatan mereka. Mereka menegaskan bahwa revisi ini seharusnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa melibatkan partisipasi publik. Dalam demokrasi yang sehat, pembentukan peraturan perundang-undangan harus selaras dengan prinsip keterbukaan dan keadilan, bukan sekadar memperluas otoritas tanpa pengawasan.
Lebih jauh, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa revisi ini tidak memiliki agenda yang jelas untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, revisi ini justru dianggap berpotensi memperbesar impunitas bagi oknum aparat yang melanggar hukum, tanpa mekanisme kontrol yang efektif.
Di tengah transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR RI tampak mendadak menginisiasi revisi UU Polri. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa revisi ini bukan bertujuan untuk memperbaiki institusi kepolisian, melainkan lebih kepada kepentingan politik tertentu.
Dengan berbagai kekhawatiran tersebut, masyarakat mendesak agar rencana revisi UU Polri dibuka secara transparan dan melibatkan publik dalam pembahasannya. Reformasi kepolisian yang sejati harus berorientasi pada peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas, bukan sekadar memperluas kewenangan tanpa pengawasan.
(Jacob Ereste)