Surabaya – Rasa rindu akan masa lalu kadang menyenangkan, tapi juga menyakitkan. Menyenangkan karena mengingat kenangan indah, menyakitkan karena ingin mengulang waktu yang tak mungkin kembali.
Kisah ini bermula pada tahun 2000, saat menjelang kelulusan kuliah. Seorang sahabat menawarkan pekerjaan sebagai wartawan. Tanpa ragu, surat lamaran segera dikirim. Bismillah, semoga diterima.
Doa terkabul. Meski belum diwisuda, kesempatan bekerja di The Indonesian Daily News (IDN), surat kabar berbahasa Inggris milik Jawa Pos, akhirnya datang. Dari sinilah perjalanan sebagai wartawan dimulai. Belajar liputan, wawancara, rapat redaksi, hingga menulis berita dalam bahasa Inggris. Meski penuh tantangan, semua bisa dilalui. Salam hormat untuk semua rekan di IDN, terutama Mas Ribut Wahyudi, yang dengan sabar mengajari cara menjadi wartawan dan menulis buku.
Dua tahun di IDN, perjalanan berlanjut ke Grup Oposisi, lini Jawa Pos yang menerbitkan beragam tabloid. Empat tahun membangun karier hingga akhirnya ditugaskan di Yogyakarta untuk meliput berbagai peristiwa di DIY dan Jawa Tengah.
Lalu, datang panggilan dari Jakarta. Seorang wartawan senior, Mas Amby Priyonggo, menawarkan posisi di halaman Internasional Koran Seputar Indonesia (Sindo). Tanpa pikir panjang, langsung menjawab, Siap merapat ke Ibu Kota!
Setelah dua tahun lebih di Sindo, kesempatan lain datang. Seorang sahabat mengabarkan ada lowongan redaktur halaman politik global di Harian Merdeka. Tawaran diterima. Sayangnya, hanya bertahan setahun karena sang pemilik terjerat kasus hukum, dan koran legendaris ini pun berhenti terbit.
Perjalanan terus berlanjut. Bergabung sebagai copywriter di Gomobile, perusahaan start-up milik keluarga Panigoro, berkantor di The East, Jakarta Selatan. Dua tahun berkarya, lalu datang tawaran sebagai redaktur di Majalah Campus Life milik Berita Satu Media Holding, Lippo Group. Kesempatan langka, bekerja bersama Stephanie Riyadi, putri konglomerat James Riyadi.
Setelah dua tahun, kesempatan lain muncul. Seorang sahabat, Mas Tony Hendroyono, menawarkan posisi head of media di perusahaan start-up milik warga negara Singapura. Tawaran diterima. Namun, tak lama, panggilan dari luar negeri datang, tak bisa ditolak.
Awal 2014, sepulang dari luar negeri, banting setir dari dunia wartawan ke marketing communication di perusahaan travel haji dan umrah. Namun, dunia ini jauh berbeda dari media. Tak sampai setahun, akhirnya memutuskan resign dan beralih menjadi penulis lepas, sambil berjualan baju online.
Meski fokus berdagang, dunia kepenulisan tak bisa ditinggalkan. Berbagai proyek menulis pun datang, mulai dari Cepamagz, majalah komunitas golf, hingga buku sejarah Densus 88 bersama Mabes Polri. Pernah juga terlibat riset untuk skenario film Hoegeng, sang polisi jujur, serta film Sultan Hamid, perancang lambang Garuda Pancasila. Terakhir, menulis biografi seorang pengusaha radio dan herbal di Lampung.
Menjadi penulis lepas memang menyenangkan. Tak terikat ruang dan waktu. Selama pekerjaan selesai, gaji pun cair. Namun, lama-kelamaan, rasa rindu akan dunia media kembali menghantui. Jiwa wartawan yang sudah mengakar sulit dilepaskan. Teringat suasana rapat redaksi, liputan ke lapangan, menulis dikejar deadline, bahkan dimarahi atasan. Kapokmu kapan?
Mungkin ini semacam kutukan. Sekali menjadi wartawan, akan tetap menjadi wartawan selamanya.
Alhamdulillah, setelah sekian lama menjauh dari dunia media, rasa kangen akhirnya terobati. Seorang sahabat mengajak kembali ke meja redaksi. Kini, waktunya kembali berkarya bersama para wartawan, fotografer, videografer, desainer grafis, dan kru lainnya.
(Redho)