Ganesha Abadi – Keberanian seorang jaksa menangkap hakim nakal di Jawa Timur menjadi sorotan tajam publik. Langkah tersebut dinilai sebagai lompatan besar dalam menjaga etika, moral, dan martabat manusia yang berfungsi sebagai khalifatullah di bumi. Penegakan hukum ini tak hanya mencuatkan reputasi sang jaksa, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa keadilan masih bisa ditegakkan di tengah berbagai tantangan.
Namun, situasi ini tidak berjalan tanpa polemik. Kasus besar yang tengah digarap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk penetapan tersangka yang belum ditahan, memunculkan spekulasi tentang adanya intervensi dan persekongkolan. Presiden Prabowo Subianto sendiri telah menegaskan agar para jaksa segera menyelesaikan kasus korupsi yang menumpuk, seraya mengingatkan bahaya persekongkolan dengan mafia yang merusak integritas hukum.
Di sisi lain, isu lain seperti pemagaran liar di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang terkait proyek pembangunan ilegal, hingga perilaku nyeleneh beberapa pejabat negara turut memicu keresahan publik. Mulai dari staf khusus presiden yang lebih sibuk mencari popularitas hingga wakil menteri yang mencampuri bidang di luar wewenangnya, semakin menambah daftar masalah yang perlu segera dibenahi.
Jacob Ereste, seorang pengamat sosial dan politik, menyoroti bahwa banyak pejabat lebih sibuk mencari sensasi untuk pencitraan daripada menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Menurutnya, hasrat berlebihan untuk terlihat aktif di tengah masyarakat sering kali justru melupakan esensi utama pelayanan publik.
“Pembangunan ketahanan pangan, misalnya, seharusnya menjadi ranah kementerian teknis terkait seperti Kementerian Pertanian dan Perikanan. Namun, fenomena cawe-cawe oleh pejabat di luar bidangnya menjadi budaya yang terus berkembang,” ungkap Jacob.
Ia juga menyoroti maraknya praktik komersialisasi hukum dan prosedur yang merugikan rakyat kecil, menjadikan mereka sebagai objek eksploitasi oleh oknum-oknum tertentu.
Jacob menegaskan, perbaikan bangsa ini tidak bisa hanya berharap pada pejabat negara. Sikap kritis dan keberanian rakyat dalam menyuarakan perubahan menjadi kunci utama. “Rakyat harus bersatu, kompak, dan berani mendobrak ketidakadilan. Sebab hanya dengan keberanian, rakyat bisa menang dan berdaulat sesuai amanah konstitusi,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa martabat bangsa tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan spiritual yang membingkai moral dan etika. Dengan kombinasi keduanya, diharapkan tercipta tatanan pemerintahan yang lebih adil, bermartabat, dan sesuai dengan janji proklamasi untuk memberantas kemiskinan serta meningkatkan kecerdasan seluruh rakyat tanpa kecuali.
(Jacob Ereste)