Ganeshaabadi – Tema pameran lukisan “Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan” memicu polemik setelah pembatalan sepihak yang disebut sebagai bentuk pembredelan. Keputusan ini menyoroti bayang-bayang otoritarianisme yang masih membatasi kebebasan berekspresi di Indonesia. Pameran ini, yang awalnya digelar di Galeri Nasional pada 19 Desember 2024, dihentikan secara mendadak dengan alasan kontroversial.
Pameran seni sering kali menjadi medium untuk menyuarakan kritik sosial, terutama saat kanal politik dan narasi budaya dianggap kehilangan daya. Namun, pembredelan pameran ini menunjukkan bahwa seni rupa pun masih dibayangi represi. Galeri Nasional, sebagai lembaga yang seharusnya melestarikan dan mendukung seni, justru dianggap menyerah pada tekanan pihak tertentu, memperlihatkan lemahnya posisi seni di tengah dinamika politik dan budaya Indonesia.
Pembatalan pameran ini tidak hanya melukai seniman, tetapi juga publik yang memiliki hak untuk mengapresiasi seni dan menilai karya-karya tersebut secara mandiri. Salah satu karya yang menjadi sorotan menggambarkan sosok seorang raja yang menginjak rakyat dengan latar pasukan berseragam cokelat dan hijau. Lukisan ini dianggap menyentuh isu sensitif, meskipun pesannya relevan dengan kondisi sosial-politik saat ini.
Kurator pameran, yang sebelumnya mengusulkan agar lima karya tidak ditampilkan, juga menuai kritik. Langkah mundurnya dinilai menunjukkan ketakutan berlebihan, bahkan dianggap mengorbankan hak publik demi menghindari risiko pribadi. Keputusan ini memicu pertanyaan tentang profesionalisme proses kurasi yang seharusnya matang sejak perencanaan hingga pelaksanaan.
Keputusan sepihak ini semakin menegaskan perlunya perhatian serius dari Kementerian Kebudayaan. Seni dan budaya bukan sekadar benda mati, tetapi juga wadah aktivitas yang merefleksikan dinamika sosial. Pembredelan semacam ini menghambat kemajuan seni rupa di Indonesia, yang seharusnya dapat menjadi medium penting untuk membangun karakter bangsa.
Ironi lainnya adalah tema pameran yang relevan dengan isu kedaulatan pangan dan ketahanan nasional. Dalam konteks pembangunan Indonesia menuju era Indonesia Emas 2045, tema ini sangat strategis. Sayangnya, kritik yang diangkat melalui seni ini justru dibungkam, seolah menunjukkan ketakutan penguasa terhadap narasi alternatif yang muncul dari suara seniman.
Sejarah membuktikan, seni rupa pernah berjaya sebagai medium kritik di Indonesia, terutama pada era 1980-an. Namun, insiden ini menunjukkan betapa seni rupa kini menghadapi tantangan besar, baik dari aspek kebijakan maupun keberanian institusi terkait. Diperlukan pendekatan lebih bijak dari pemerintah untuk menjadikan kritik sebagai sarana membangun, bukan ancaman.
Pameran seni lukis seperti ini bukan sekadar ajang estetika, tetapi juga bagian dari upaya mengingatkan bangsa akan pentingnya memperjuangkan kedaulatan tanah dan pangan. Dalam arti luas, seni semacam ini menjadi pertahanan budaya yang menguatkan bangsa melawan berbagai bentuk penjajahan, baik ekonomi maupun politik.
Harapannya, pembredelan ini menjadi momen refleksi, bukan penutupan peluang. Seni harus tetap hidup sebagai penjaga kewarasan pikiran dan moral bangsa. Pameran ini, meski dihentikan, tetap menjadi bukti bahwa kritik melalui seni adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan demokrasi di Indonesia.
(Jacob Ereste)