Ganesha Abadi – Pagar laut sepanjang 40,16 kilometer yang membentang di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, melingkupi 16 kecamatan dan puluhan desa. Namun, bagi nelayan setempat, kisah pagar laut ini lebih menyerupai lelucon pahit yang menggelikan.
Sulit membayangkan bagaimana nelayan yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup—seperti biaya pendidikan anak, peningkatan gizi keluarga, hingga perbaikan alat tangkap—tiba-tiba dianggap mampu memasang pagar laut sepanjang itu. Apakah pagar laut ini benar-benar untuk nelayan, atau sekadar kedok atas kepentingan segelintir pihak?
Bayangkanlah, pagar sepanjang 40,16 kilometer itu melintang bak jarak dari ujung barat Pulau Jawa ke ujung timur Pulau Sumatra di Lampung. Berapa banyak bambu yang dibutuhkan untuk membuatnya? Harga satu batang bambu saja sudah tidak murah. Apalagi untuk menancapkannya ke dasar laut, tentu memerlukan upaya besar dan biaya tinggi.
Namun, apakah nelayan, yang sering kali tak punya sisa uang di kantong, benar-benar mampu melaksanakan proyek absurd semacam ini? Sepertinya tidak. Apalagi, sebagian besar dari mereka mungkin tak pernah punya rekening bank, apalagi modal besar untuk proyek ini.
Pagar laut ini tampak seperti upaya mengalihkan perhatian publik dari berbagai isu besar lain. Entah itu soal ketidakadilan sosial, korupsi, atau tindakan oligarki tamak yang terus merongrong negeri ini.
Jika dihitung, jumlah bambu yang digunakan untuk pagar laut ini mungkin mencapai jutaan batang. Setiap batang bambu harus ditebang, diangkut, dan ditanam di laut. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ini? Siapa yang membayar? Dan untuk tujuan apa?
Drama ini semakin terasa menyakitkan ketika kita melihat kondisi nelayan yang sebenarnya. Alih-alih mendapat perhatian untuk perbaikan hidup, mereka justru dijadikan tameng dalam proyek yang tak jelas manfaatnya.
Sayangnya, kisah pagar laut ini seolah menjadi drama tragis di negeri ini. Padahal, seharusnya otoritas pengelolaan laut ada di tangan institusi seperti Angkatan Laut Republik Indonesia, yang seharusnya jauh lebih gagah dan terhormat daripada kisah-kisah manipulatif semacam ini.
Namun, alih-alih memberikan manfaat bagi banyak orang, kisah pagar laut ini justru menjadi pengalih perhatian dari masalah besar lainnya. Harga kebutuhan pokok yang melonjak, bencana kemanusiaan, hingga perjuangan hidup para nelayan tampaknya dikesampingkan demi kisah absurd ini.
Drama pagar laut ini, seperti karya teater “Menunggu Godot” yang dipentaskan di Indonesia tahun 1970-an, terasa penuh ironi dan absurditas. Ia hanya menampilkan kegagalan sistem dalam memberikan solusi nyata bagi rakyat.
Akhirnya, kita hanya bisa bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari drama ini? Dan berapa banyak lagi uang rakyat yang akan tenggelam di tengah laut bersama pagar bambu yang tak berfaedah ini?
(Jacob Ereste)