Sidoarjo – Tugu Babalayar (Hikayat Sang Delta) yang berdiri di pusat kota Sidoarjo menjadi sorotan sebagai simbol korupsi yang dipertontonkan secara terang-terangan. Proyek pembangunan tugu ini menelan anggaran lebih dari Rp 650 juta dan sempat memicu protes dari berbagai kalangan karena spesifikasi yang dianggap tidak sesuai dengan anggaran yang dikeluarkan.
Desain tugu ini awalnya dipilih melalui sayembara, dengan pemenangnya mendapatkan imbalan puluhan juta rupiah. Tugu yang berbentuk bambu ini disebut-sebut memiliki makna mendalam, namun kritik mulai muncul sejak pertama kali direncanakan pada tahun anggaran 2022. Proyek ini dikerjakan oleh CV Walka Elektrindo, dan puncaknya, tugu ini dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Sidoarjo oleh beberapa pihak yang merasa keberatan.
Setelah hampir tiga tahun berdirinya tugu tersebut, beberapa warga dan pengamat memberikan pandangan mereka. Beberapa di antaranya bahkan tidak mengetahui berapa anggaran yang dikeluarkan untuk membangun tugu ini. Ada yang merasa kesal setiap kali melewati tugu tersebut, membayangkan bahwa anggaran yang digunakan bisa untuk membeli dua unit rumah di perumahan elit di Sidoarjo.
“Sungguh, Rp 650 juta itu bisa buat beli dua rumah di perumahan mewah di Sukodono,” ujar Erman, seorang pemuda dari Sukodono yang sangat mencintai Sidoarjo.
Beberapa tukang bangunan yang diwawancarai juga memberikan pandangan serupa. Imron, seorang tukang bangunan, bahkan merasa bahwa jika dia yang mengerjakan proyek tersebut, anggaran sebesar Rp 650 juta bisa membuat tugu yang sama dengan kualitas yang lebih baik.
“Kalau saya yang mengerjakan, paling cuma butuh Rp 50 juta untuk bikin tugu kayak gitu,” tambahnya sambil tertawa.
Secara logika, menurut banyak pihak, anggaran sebesar itu untuk tugu dengan bentuk seperti itu dianggap tidak masuk akal. Proyek ini dikerjakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Sidoarjo di bawah kepemimpinan Bupati Ahmad Muhdlor, yang tahun 2024 lalu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemotongan insentif pegawai BPPD oleh KPK.
Meskipun sudah dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Sidoarjo, pemberitaan positif terkait pembangunan tugu ini masif beredar, sementara pihak berwenang belum juga memberikan keputusan resmi mengenai pelaporan tersebut.
Prof. Muzaki, pengamat dari Lembaga Riset Kebijakan Publik Sipil Pantau Korupsi (SPK), mengungkapkan keheranannya karena proyek yang jelas-jelas mencurigakan ini tidak ada upaya klarifikasi resmi dari pihak terkait. Menurutnya, masyarakat dipaksa untuk menerima kenyataan pahit bahwa inilah produk pemerintah daerah dengan segala problematikanya.
“Setiap hari, setiap pagi, orang-orang yang melewati tugu ini dipaksa mengerti betapa bobroknya sistem pemerintahan dan pembangunan di Sidoarjo. Ini adalah wujud korupsi yang dipertontonkan ke publik,” sesal Muzaki.
Dia juga menyayangkan sikap bungkam dari semua pihak terkait pada saat pembangunan dan penyelesaian tugu tersebut. Menurutnya, masih ada kesempatan untuk meluruskan pembangunan ini agar citra Sidoarjo tidak terus-terusan tercemar sebagai daerah dengan potensi korupsi yang tinggi.
(Redho)