Ganesha Abadi – Filsafat Jawa yang mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe” semula mencerminkan etos kerja yang mengutamakan tindakan daripada bicara. Namun, kini, filsafat ini seakan terkikis seiring berkembangnya zaman. Saat ini, kita sering melihat bahwa promosi, orasi, atau bahkan provokasi menjadi bagian dari cara untuk menarik perhatian, meskipun tidak selalu diiringi dengan kerja nyata. Hal ini berimbas pada dunia aktivisme, terutama dalam gerakan yang seharusnya berfokus pada perubahan yang nyata, namun malah dipenuhi dengan perdebatan tanpa hasil yang signifikan.
Proses pembahasan amandemen UUD 1945 yang pada awalnya riuh dengan semangat reformasi kini terasa jauh lebih lambat dan terpecah. Setelah perdebatan panas mengenai amandemen pada awal tahun 2002, wacana tersebut kembali mencuat menjelang Pemilu Presiden 2024. Beberapa pihak menolak membahas ulang UUD 1945 karena khawatir hal ini akan digunakan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.
Pernyataan ini dikemukakan oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu, Pemimpin Spiritual Nusantara, yang mengingatkan kita akan semangat pembahasan UUD 1945 yang dulu sempat memuncak, namun kini mulai memudar. Galgendu menilai, semangat untuk menyempurnakan UUD 1945 yang telah diamandemen dengan tergesa-gesa kini tampak luntur. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan semangat tersebut melempem?
Menurut Galgendu, diskusi tentang pembahasan UUD 1945 seharusnya tetap dilakukan setelah pemilihan Presiden 2024-2029 selesai. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan wacana yang bisa berisiko memperpanjang jabatan presiden. Namun, kini muncul pertanyaan besar tentang mengapa semangat untuk memperbaiki atau kembali kepada UUD 1945 yang asli menjadi semakin luntur, seolah seperti kerupuk yang melempem setelah masuk angin.
Dengan pertanyaan tersebut, Galgendu menyarankan masyarakat untuk kembali menafsirkan dan memaknai pentingnya pembahasan UUD 1945 secara bebas dan merdeka, tanpa terkekang oleh tekanan politik.
(Jacob Ereste)