Ganesha Abadi – Paradoks Indonesia sudah lama menjadi perhatian Prabowo Subianto, bahkan sebelum dirinya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Sekitar tahun 2016–2017, ia menyampaikan pandangan strategisnya mengenai kondisi bangsa, termasuk peringatan bahwa Indonesia bisa terancam bubar pada tahun 2030 jika tidak segera dibenahi secara serius dan tepat.
Kini, pada periode 2024–2029, nasib Indonesia berada di tangan Prabowo bersama Kabinet Merah Putih yang ia bentuk. Kabinet ini memiliki struktur luas dan lengkap untuk menangani berbagai masalah rumit yang telah berlangsung lama akibat kesalahan tata kelola sebelumnya.
Prabowo memulai pendekatannya dengan membangun kesadaran nasional. Menurutnya, Indonesia adalah negara kaya yang justru kekayaannya terus mengalir ke luar negeri, nyaris tanpa manfaat yang dinikmati rakyat sebagai pemilik sah. Ia juga menyoroti sistem demokrasi yang terlalu dikuasai oleh para pemilik modal, yang pada akhirnya membuat strategi dan kebijakan cenderung tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Prabowo menyampaikan bahwa rasio Gini Indonesia hanya sekitar 0,49 (BPS, 2015), menandakan bahwa sekitar 2,5 persen orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Sementara itu, 29 juta rakyat hidup dalam kemiskinan—8,3 persen di perkotaan dan 14,2 persen di pedesaan. Tak hanya itu, sekitar 68 juta penduduk lainnya berada dalam kondisi terancam miskin.
Dari sisi kepemilikan tanah, ketimpangan pun sangat tinggi. Data Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 0,72 persen tanah nasional hanya dikuasai oleh 2,5 juta orang, sementara jutaan lainnya bahkan tidak memiliki sejengkal pun lahan.
Untuk membangun pemahaman kolektif dan kaderisasi pemimpin bangsa, Prabowo menggagas Padepokan Garudayaksa di Hambalang. Tempat ini telah beroperasi sejak 2012 hingga 2017 dan dijadikan pusat pembinaan untuk kader Partai Gerindra dan warga yang terpanggil memperjuangkan cita-cita bangsa. Dari sinilah lahir buku Paradoks Indonesia yang memuat berbagai gagasan dan solusi terhadap masalah nasional.
Prabowo juga mengkritik sistem ekonomi yang salah urus, kualitas pendidikan yang buruk—pernah berada di peringkat 65 dari 73 negara—serta utang luar negeri yang mencapai Rp4.000 triliun. Ia menilai pertumbuhan ekonomi yang stagnan di bawah 10 persen adalah kegagalan, karena sama saja seperti berjalan di tempat.
Visinya menargetkan pertumbuhan ekonomi minimal dua kali lipat. Jika saat itu PDB per kapita berada di angka USD 3.300, maka idealnya harus meningkat hingga USD 13.000 per tahun. Untuk mencapainya, Indonesia harus menyelesaikan dua masalah utama: menghentikan aliran kekayaan ke luar negeri dan membebaskan demokrasi dari cengkeraman para pemilik modal.
Prabowo menekankan pentingnya memberantas korupsi dan menghentikan kebocoran anggaran negara. Ia juga mengandalkan kekuatan BUMN sebagai motor penggerak ekonomi. Terdapat sembilan BUMN yang disebut selalu mencetak laba besar, yakni Bank Rakyat Indonesia, Telkom, Bank Mandiri, Pertamina, PLN, Bank Negara Indonesia, Perusahaan Gas Negara, Semen Indonesia, dan Pupuk Indonesia. Sayangnya, sektor vital seperti air minum kini justru dikuasai pihak swasta dan asing.
Kini, sebagai Presiden, Prabowo memiliki ruang dan wewenang untuk mewujudkan semua gagasan strategisnya. Bersama Kabinet Merah Putih yang komprehensif dalam tugas dan fungsi, ia memiliki peluang besar untuk melaksanakan idealisme yang telah lama ia perjuangkan lewat Partai Gerindra.
Tujuan akhirnya adalah membangun kekuatan politik rakyat demi mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang maju, modern, adil, makmur, kuat, dan berdaulat.
(Jacob Ereste)