Ganeshaabadi – Kerukunan umat beragama di Indonesia tercermin dalam perayaan Tung Che yang diselenggarakan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pada Sabtu, 21 Desember 2024, di Jakarta Barat. Acara ini dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Prof. Jimly Asshiddiqie dan Pemimpin Spiritual Nusantara, Sri Eko Sriyanto Galgendu. Kehadiran mereka menunjukkan harmoni dan penghormatan terhadap tradisi budaya Tionghoa yang memiliki makna spiritual mendalam.
Tung Che, atau yang dikenal juga sebagai Dong Zhi, merupakan perayaan tradisional Tionghoa yang membedakan kalender Masehi dengan penanggalan Imlek. Festival ini sering disebut sebagai “Kalender Petani” karena erat kaitannya dengan perhitungan musim. Dalam perayaan ini, tradisi membuat Tang Yuan (onde-onde berbahan tepung ketan) menjadi momen penting. Tang Yuan disajikan dengan kuah manis dan digunakan untuk sembahyang kepada leluhur. Tradisi ini melambangkan rasa syukur sekaligus menandai bertambahnya usia seseorang setelah memakannya.
Perayaan Dong Zhi diyakini sudah berlangsung sejak Dinasti Han (205 SM–220 M). Pada masa Dinasti Tang dan Song, perayaan ini diperkaya dengan penghormatan kepada para leluhur dan dewata. Bahkan, pada era Dinasti Qing (1644–1911), Dong Zhi dianggap setara dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Tradisi ini menjadi momen penting untuk mempererat hubungan keluarga, terutama bagi masyarakat Tiongkok Selatan dan perantau yang merayakan reuni dengan menikmati Tang Yuan.
Sejarah panjang Tang Yuan sebagai hidangan khas Dong Zhi menunjukkan keistimewaannya dalam budaya Tionghoa. Secara harfiah, Tang Yuan berarti “reuni keluarga,” yang mencerminkan nilai kebersamaan. Selain itu, Dong Zhi juga dianggap sebagai awal tahun baru dalam kalender tradisional Zhou, di mana perayaan ini menjadi bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan-Nya.
Uniknya, Dong Zhi juga diyakini sebagai momen ketika unsur-unsur alam mencapai keselarasan. Salah satu fenomena yang sering disebut adalah kemampuan telur berdiri tegak di atas permukaan bumi karena daya magnet matahari. Nilai filosofis inilah yang menjadikan perayaan Tung Che menarik perhatian tokoh-tokoh lintas agama dan kepercayaan.
Sri Eko Sriyanto Galgendu, dalam sambutannya, menyampaikan doa dan pesan harmoni kepada seluruh tamu undangan. Kemampuannya menyampaikan pesan dalam berbagai bahasa bumi menjadi daya tarik tersendiri dalam acara ini. Kehadirannya di tengah perayaan tersebut mencerminkan pentingnya persatuan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kebudayaan yang mengajarkan kerukunan.
Acara ini diprakarsai oleh Budi S. Tanuwibowo sebagai bentuk dedikasi Matakin dalam merawat tradisi dan memperkuat hubungan lintas budaya. Semangat yang tergambar dari perayaan Tung Che tidak hanya menjadi simbol kebersamaan umat Tionghoa, tetapi juga menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman dapat dirayakan dengan rasa syukur dan hormat kepada Yang Maha Kuasa.
(Jacob Ereste)