Ganeshaabadi.com | Di Kuningan City Rabu (25/10/2023) saat duduk santai menunggu proses membuat visa, temen duduk yang baru bertemu mengajukan permohonan jawaban iya. “Apapun partai dan pilihan caleg di 2024, terpenting Pak Yai pilih presiden yang ini”.
Suasana jadi hangat karena berdiskusi pada topik yang lagi dibahas ramai di warkop, poskamling maupun perkantoran. Pembahasan capres dan cawapres 2024.
“Siapapun pilihan capres dan cawapres kita, terpenting pilihan kita dipastikan menjaga dan mengamalkan Pancasila. Tidak yang akan merubah menjadi trisila atau ekasila. Dan tentu kita bersepakat pemenangnya beragama Islam, dan yang memperjuangkan serta mengamalkannya,” jawabku.
Di WAG sudah penuh gesekan, saling tinju, mengolok bahkan permusuhan dan memfitnah jika membahas pilpres 2024. Saya mencoba memberi gambaran, bahwa kita selama ini mengenal dan biasa mengamalkan beragama dalam perbedaan. Saat itulah kita menyemai persamaan. Semisal saat kita menjalankan thowaf di Ka’ban, kita bersentuhan lawan jenis tidak menyebabkan batal wudlu kita. Dalam ajaran kita akan selalu ditemukan ikhtilaf. Ikhtilaf itu indah, tafaruq (perpecahan) itu adzab.
“Berbangsa dan bernegara terpenting adalah menyemai persatuan seluruh elemen anak bangsa. Perbedaan ras, agama dan pilihan di pilpres adalah keindahan. Salah satu yang dapat dinikmati keindahan perbedaan adalah kedewasaan dalam bermadzab. Perbedaan dalam pilpres 2024 sebaiknya tetap untuk memupuk persatuan Indonesia sehingga terwujud pemimpin berkwalitas pilihan rakyat. Tentu saja membutuhkan syarat utama yaitu hilangkan ego, ingin menang sendiri apalagi merasa bener sendiri,” tambah ku.
“Tapi dalam pilpres 2024 ada capres dan cawapres terbaik dan mendekati kesempurnaan leadershipnya. Seyogyanya milih yang ini saja,” tanya temen yang sedang urus visa ke Negara Jerman.
“Negara Indonesia sudah disepakati negara demokrasi dengan sistem one man, one vote. Terbaik ala pemilu kita adalah yang terbanyak dipilih rakyat. Para capres dan cawapres berikhtiar mengelola hati rakyat agar mau memilih. Rakyat Indonesia berijtihad memilih. Hasil ijtihad itu yang harus dihormati, dihargai dan diterima. Dari sini sebaiknya tidak saking fitnah ataupun saling melaknat apalagi saling mengkafirkan karena beda pilihan,” jawabku.
“Kedewasaan rakyat pasti mengutamakan persatuan agar mampu melahirkan pemimpin yang baik saat pemilu. Pemilu bukan untuk ajang pamer otot tapi lebih pada penawaran gagasan pemikiran. Para pendukung dan relawan bukan kelompok yang hanya pamer ego sekterian, namun para pekerja yang membersamai para pemilih,” tambahku.
Semenjak awal tahun 2023 saya mendapat beberapa pertanyaan via WA, “bagaimana sikap di pilpres 2024?”
“Momentum pilpres tiap lima tahunan sebaiknya dijadikan ajang Konsolidasi dan shilaturrahim dakwah para pengemban dakwah. Maka berbahagialah para pengemban dakwah yang punya waktu untuk bershilaturrahim dan konsolidasi dakwah di momentum pilpres 2024. Sebaiknya para pengemban dakwah mengambil dan mengoptimalkan untuk membangun shilaturrahim dan konsolidasi intern Jama’ahnya masing-masing. Karena memang kerja utama para pengemban dakwah adalah menguatkan berjejaring dakwah,” jawabku.
“Setiap momen pilkada atau pemilu, saya ketentuan kejama’ahan untuk pilih memilih pilkada atau pemilu harus dengan istikhoroh guru.
Saya tegak lurus menjalankan hasil istikhoroh. Tidak ada pilihan pribadi. Yang ada menjalankan hasil istikhoroh, ini yang pertama. Yang kedua sebagai pengemban dakwah maka tugas utamanya adalah membangun proyek dakwah yang bersifat berkelanjutan. Yang ketiga, pengemban dakwah merawat dan membersamai para jama’ah yang memiliki calon sendiri-sendiri dan berlatar belakang berbagai partai. Yang keempat, dalam kaidah dakwah bahwa tidak harus semua kaum muslimin masuk terlibat menjadi pemain pilkada atau pemilu. Namun harus tetap banyak yang memilih untuk ngajar majlis ilmu atau merintis lembaga ilmu,” jawabku.
(Red)