Ganeshaabadi.com – Pemahaman mengenai keyakinan manunggaling kawulo lan gusti sering disalahartikan sebagai penyatuan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Padahal, makna yang sebenarnya adalah bahwa manusia selalu bersama Tuhan dalam menjalani setiap tantangan, rintangan, kegembiraan, dan kebahagiaan, tanpa melupakan-Nya. Dalam setiap aktivitas duniawi, agama mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik dan berniat demi keridhaan Tuhan.
Seperti ajaran Syekh Siti Jenar yang mendorong manusia untuk tumbuh dan berkembang secara progresif serta positif, guna memperteguh kepribadian yang mulia. Manusia, yang diciptakan Allah sebagai makhluk paling sempurna di bumi, lebih mulia dari malaikat dan jauh dari syaitan, memiliki tugas sebagai khalifatullah, wakil Tuhan di bumi. Dalam tradisi agama dan suku bangsa nusantara, jauh sebelum agama Samawi diturunkan, terdapat keyakinan kuat bahwa manusia dan alam semesta memiliki hubungan erat dengan Tuhan Pencipta.
Alam diciptakan untuk manusia, dan manusia diciptakan untuk bertakwa kepada Tuhan. Oleh karena itu, hukum alam sunnatullah adalah hukum Tuhan yang tak bisa dibantah. Walaupun hukum alam dapat dilanggar, konsekuensinya adalah bencana yang tidak bisa ditangani oleh manusia. Bencana alam seharusnya menjadi renungan untuk melakukan koreksi diri atas kesalahan yang melanggar hukum alam, yang berada di luar kekuasaan manusia.
Kitab-kitab yang diturunkan dari langit penuh dengan peringatan agar manusia tidak sombong, tamak, dan rakus, serta tidak mengingkari hak orang lain atau mengeksploitasi alam demi keuntungan pribadi. Hal ini tercermin dalam praktik yang mengabaikan hak-hak masyarakat dan merusak alam demi kepentingan pribadi.
Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia GMRI, yang diprakarsai oleh Pemimpin Spiritual Nusantara, Sri Eko Sriyanto Galgendu bersama Gus Dur, Susuhunan Paku Buwono XII, dan Prof. Dr. HC KH. Habib Chirzin, sejak 30 tahun lalu, menawarkan jalan spiritual yang mengedepankan etika, moral, dan akhlak mulia. Tujuannya adalah agar umat manusia menelusuri jalan yang lurus ihdinas sirotal mustakim untuk meraih rahmat dan kebaikan bagi seluruh alam semesta dengan tawaduk, serta melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Ajaran-ajaran yang diturunkan dari langit sangat sakral dan penuh nilai-nilai spiritual yang mendalam. Langkah spiritual adalah pilihan terbaik untuk menghadapi zaman yang semakin berkembang tanpa kendali, yang merusak akal sehat, mengikis prinsip kepribadian, dan menggerogoti etika serta moral. Kenyataan ini terlihat jelas dalam politik yang penuh intrik, ekonomi yang penuh dengan penipuan, serta budaya yang meremehkan warisan leluhur kita yang sarat dengan nilai-nilai spiritual.
Mengapa kita harus berpaling dari budaya yang telah diwariskan oleh leluhur kita, yang sarat dengan kekuatan spiritual luar biasa, hanya untuk mengikuti budaya asing yang belum tentu membawa kebaikan?
(Jacob Ereste)