Medan – Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP kembali menjadi sorotan karena dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan pidana. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah konsep dominus litis, yang memberikan jaksa kewenangan lebih luas dalam penyidikan dan penuntutan.
Menanggapi hal ini, Gabungan Praktisi Peduli Hukum (GPPH) NKRI, yang terdiri dari advokat, dosen, dan mahasiswa hukum, menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Medan pada Kamis (13/2). Ketua Panitia FGD, Famati Gulo, S.H., M.H., menyatakan bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada jaksa dapat memunculkan potensi penyalahgunaan wewenang.
“Kami menilai RUU KUHAP harus dievaluasi agar polisi tetap menjadi penyidik dan jaksa fokus sebagai penuntut. Ini penting untuk menjaga keseimbangan dalam sistem peradilan pidana,” ujarnya.
Dalam diskusi ini, hadir sejumlah akademisi hukum sebagai pembicara, di antaranya:
Assoc. Prof. Faisal, S.H., M.Hum. (Dekan FH UMSU)
Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. (Sekretaris Prodi Magister Ilmu Hukum USU)
Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum. (Dosen Hukum Tata Negara USU)
Dr. Panca Sarjana Putra, S.H. (Wakil Dekan Fakultas Hukum UISU)
Assoc. Prof. Faisal menyoroti bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini masih jauh dari ideal karena tidak memiliki fondasi peradaban hukum yang kuat. “RUU KUHAP ini nyaris tidak mencerminkan semangat peradaban hukum yang berkeadilan. Regulasi dibuat tanpa mempertimbangkan etika dan akhlak hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi menegaskan bahwa sistem peradilan pidana harus berjalan dalam harmoni dengan koordinasi yang jelas antara lembaga penegak hukum. “Mindset hukum kita jangan hanya berorientasi pada pemidanaan, tapi juga harus mengedepankan hak-hak tersangka dan korban. Jika tidak, overkapasitas di lembaga pemasyarakatan akan terus terjadi,” ungkapnya.
Menanggapi pertanyaan peserta FGD, Andronikus Bidaya, S.H., M.H., terkait dampak positif dan negatif dari pemberian kewenangan penyidikan kepada jaksa, Dr. Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa dampak negatifnya jauh lebih besar.
“Jika jaksa menjadi penyidik pidana umum, akan ada risiko penyalahgunaan wewenang karena jaksa memiliki kontrol penuh atas suatu perkara. Polisi harus diperkuat dalam penyidikan, sementara jaksa tetap fokus sebagai penuntut agar sistem hukum tetap seimbang,” pungkasnya.
Dengan adanya diskusi ini, GPPH berharap RUU KUHAP dapat dievaluasi kembali agar tidak menimbulkan ketimpangan kewenangan dalam penegakan hukum di Indonesia.
(Tim)