Ganeshaabadi – Apakah bukti hukum masih diperlukan jika masyarakat sudah memberikan pengakuan final terhadap suatu perbuatan? Inilah dilema yang sering dirasakan dalam sistem hukum saat ini. Masyarakat kerap merasa hukum tidak mampu menegakkan keadilan karena mengutamakan bukti, sementara perilaku dan tindakan yang nyata dirasakan sudah cukup untuk menentukan sikap.
Masalah ini semakin mencuat dalam berbagai fenomena sosial, termasuk kasus aparat yang zalim. Jika korban tidak berteriak atau menyuarakan ketidakadilan, maka ia dianggap tidak teraniaya. Fenomena ini mencerminkan betapa fakta hukum sering kali tidak mampu menangkap realitas sosial yang dirasakan masyarakat.
Hal serupa terjadi dalam dunia politik Indonesia, di mana dokumen skandal para pejabat sering dijadikan alat untuk tawar-menawar kasus. Sayangnya, rakyat selalu menjadi pihak yang dirugikan karena skandal tersebut tidak dibuka secara transparan. Pertanyaan pun muncul: dapatkah pelaku penyembunyian skandal ini dikenai sanksi hukum? Jawabannya cenderung negatif karena para pelaku memiliki kekuatan hukum yang setara, sementara rakyat hanya menjadi korban dalam konflik tersebut.
Kasus ini juga mencuat melalui poling OCCRP yang menobatkan Joko Widodo sebagai Tokoh Korup Dunia 2024. Meski berdasarkan pendapat umum, hasil poling ini mencerminkan pandangan masyarakat secara luas. Namun, apakah anggapan ini dapat dikenai delik hukum? Masalahnya terletak pada perbedaan antara fakta hukum dan realitas sosial. Fakta hukum membutuhkan bukti konkret, sementara realitas sosial sering kali hanya dirasakan oleh hati dan nurani masyarakat.
Dalam konteks ini, perbedaan antara fakta hukum dan fakta sosial menjadi tantangan besar. Fakta hukum tidak selalu mampu menggambarkan kondisi sebenarnya yang dirasakan masyarakat. Oleh karena itu, pengakuan publik terhadap citra tokoh atau peristiwa sering kali menjadi realitas yang jauh dari data dan bukti formal.
Paparan ini ditulis seusai menyaksikan deklarasi dan unjuk rasa yang dikoordinasi oleh Gerakan Rakyat Anti Oligarki (GRAO) di Desa Kramat Sukawali, Tangerang, pada 8 Januari 2025.
(Jacob Ereste)