Medan – Wacana penerapan asas dominus litis dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menimbulkan polemik di kalangan praktisi hukum. Dr. Yohny Anwar, MM., MH., seorang pengamat hukum, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi kewenangan berlebih yang bisa dimiliki oleh jaksa jika asas ini diterapkan secara penuh.
“Sering terjadi dalam perkara, penyidik menyatakan perkara sudah cukup bukti, namun jaksa memiliki kewenangan untuk menilai kembali. Ini berpotensi menimbulkan gesekan antara dua institusi hukum dan perdebatan berkepanjangan,” ujar Yohny kepada wartawan, Minggu (9/2).
Selain itu, ia juga menyoroti dampak penerapan restorative justice yang melibatkan berbagai pihak. Dengan peran jaksa yang dominan dalam penghentian perkara, perlu ada batasan kewenangan yang jelas agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
“Kami khawatir jika batasan kewenangan tidak diperjelas, justru akan terjadi gesekan dalam penerapan restorative justice. Jangan sampai ada kepentingan lain yang ikut membonceng dalam proses ini,” tambahnya.
Sebagai solusi, Yohny mengusulkan koordinasi yang lebih baik antara penyidik kepolisian dan jaksa melalui pembentukan tim terpadu, terutama dalam penanganan kasus-kasus strategis seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Selain itu, diperlukan revisi dan harmonisasi regulasi peradilan pidana yang mengatur hubungan kerja sama antara Polri dan kejaksaan.
Ia juga menekankan pentingnya optimalisasi Forum Koordinasi Criminal Justice System (CJS) untuk memperkuat sinergi antara Polri, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dalam membahas kasus-kasus strategis.
(Tim)