Ganesha Abadi – Keberangkatan jemaah haji Indonesia setiap tahun selalu menjadi perhatian, mengingat kuota yang seringkali dirasa tidak mencukupi. Pada tahun 2024, jumlah jemaah haji Indonesia tercatat mencapai 241.000 orang, dengan 213.000 di antaranya merupakan jemaah haji reguler. Sementara itu, 27.680 orang merupakan jemaah haji khusus. Untuk tahun 2025, Indonesia telah mengajukan permohonan kuota sebanyak 250.000 orang, meskipun kuota resmi yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi hanya 221.000 orang ditambah 2.210 petugas haji.
Tingginya jumlah jemaah haji Indonesia ini menciptakan perputaran dana yang sangat besar. Jika dihitung dari ongkos perjalanan haji, jumlah dana yang terkumpul setiap tahun bisa mencapai Rp 1,45 triliun. Bahkan, jika kuota haji dibebaskan, angka tersebut dapat meningkat dua kali lipat. Dana yang terkumpul dari jemaah haji dan umroh, yang sebagian besar mengendap bertahun-tahun, juga menciptakan potensi besar dalam pengelolaan keuangan umat.
Namun, masalah muncul dengan adanya penyalahgunaan dana tersebut, termasuk penggunaan yang tidak sesuai dengan izin dari jemaah haji sebagai pemilik dana. Hal ini menimbulkan kekisruhan dan menuntut pengelolaan dana umat yang lebih transparan.
Selain haji, ibadah umroh juga memberi kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, dengan dana yang beredar diperkirakan mencapai 10 triliun rupiah setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa sektor ibadah haji dan umroh dapat menjadi salah satu sumber devisa negara yang signifikan.
Melihat potensi besar ini, sejumlah tokoh budaya dan ekonomi Indonesia mengusulkan pengembangan wisata spiritual berbasis budaya di tanah air. Salah satunya adalah pengembangan situs-situs budaya dan spiritual, seperti Candi Borobudur di Magelang, yang memiliki potensi untuk menarik wisatawan dari umat Buddha di seluruh dunia. Dengan lebih dari 500 juta umat Buddha global, Candi Borobudur bisa menjadi destinasi utama wisata spiritual yang tidak hanya mendatangkan devisa, tetapi juga mempromosikan kebudayaan Indonesia ke dunia internasional.
Gagasan ini juga didorong oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu, yang mengusulkan pengelolaan wisata spiritual ini untuk mengatasi krisis ekonomi dengan cara yang lebih kreatif. Wisata ziarah spiritual, seperti yang ada di Candi Borobudur dan situs-situs bersejarah lainnya seperti Muara Takus dan Muara Jambi yang berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya, bisa menjadi daya tarik wisata internasional yang menguntungkan bagi negara dan masyarakat sekitar.
Dengan mengubah obyek wisata budaya menjadi destinasi ziarah spiritual, Indonesia dapat memaksimalkan potensi ekonomi dari sektor pariwisata, sekaligus menginspirasi dunia dalam mengembangkan wisata spiritual yang mendunia.
(Jacob Ereste)