Ganeshaabadi.com
Menulis di media sosial itu yang utama adalah mengisi ruang kosong agar tidak dimanfaatkan para penebar hoax. Bisa juga untuk sedikit mengurangi hasrat mereka yang nyinyir dan gemar mengejek tulisan orang lain. Meski dia sendiri tak bisa menulis apa-apa dengan secuil pengalaman atau pengetahuan yang bisa dibagikan kepada orang lain. Jadi hasrat menulis di media sosial berbasis internet bisa dijadikan medium pembelajaran yang baik bagi warga masyarakat. Paling tidak, upaya untuk memaksimalkan fungsi media sosial untuk berbagi kebaikan dapat dilakukan sebagai bagian dari ibadah.
Tentu saja menulis itu menjadi semacam upaya menjaga akal sehat, daya ingat yang memiliki kejernihan dan ketajaman untuk bertahan dalam beberapa waktu lamanya yang tersimpan dalam memori ingatan di otak. Setidaknya bagi yang sudah berusia lanjut, agar tidak pikun.
Karena itu, ingatan pada masa lalu yang indah dan baik untuk diketahui orang lain bisa dinarasikan supaya bisa menjadi bahan pembanding, andai saja tidak bisa menambah pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu hal misalnya yang pantas dan patut diketahui oleh orang lain itu.
Hasrat berbagi pengalaman atau pengetahuan serta keilmuan ini mungkin saja dapat dijadikan semacam usaha berbuat baik untuk orang banyak yang mungkin dapat juga memetik hikmah dari paparan pengalaman kita itu. Kecuali dari pengalaman menulis — berita, laporan atau sejenis opini maupun fiksi — bisa juga untuk memperluas daya ungkap dalam bentuk berbagai tulisan yang mungkin dibutuhkan oleh orang lain itu. Seperti penulisan biografi, pengalaman hidup atau sekedar keinginan untuk mengungkapkan ide, gagasan seseorang yang membutuhkan bantuan untuk menyusun dan menuliskan keinginan nya itu dalam bentuk narasi yang enak dan perlu, seperti motto jurnalistik.modern di Indonesia pada masa jayanya dulu.
Jasa penulisan serupa ini bukanlah hal yang mustahil bisa jadi sumber penghasil duit yang halal dibanding pekerjaan lain yang punya lika-liku terlalu rumit dan ruwet. Jadi sebagai media pembelajaran dalam arti luas, media sosial berbasis internet bisa dimaksimalkan kegunaannya yang lebih positif, ketimbang sekedar untuk berhaha-hihi semata untuk menghibur diri dengan cara yang tidak bermutu. Coba saja tengok di bus way Jakarta setiap hari — terutama pada waktu pulang kerja — hampir semua penumpang di dalam bus way itu asyik menikmati hiburan melalui hand phone yang ada fasilitas hiburan, termasuk film dan permainan ketangkasan seperti yang digemari anak remaja masa kini itu.
Sekiranya manfaat media sosial dapat dimaksimalkan sebagai ajang untuk mengasah kepiawaian menulis, boleh jadi kegerahan kita pun terhadap berita hoax, gossip atau tayangan haha hihi yang tidak ada manfaatnya itu dapat ditekan sampai pada titik nol, sehingga tidak lagi akan menimbulkan kejenuhan para penikmat media sosial untuk memperoleh manfaat yang lebih maksimal, ketimbang bermain game atau sekedar menonton tayangan yang tidak bermutu. Adapun arti dari tontonan yang tidak bermutu itu antara lain diantaranya adalah tontonan yang tidak memberi manfaat apa-apa kecuali hanya bisa menghibur diri dengan tayangan yang selera mutunya rendah. Sehingga dalam keanggotaan suatu media sosial misalnya Facebook atau WhatsApp bisa dijadikan pengukur dari kualitas sajian yang kita suguhkan itu cukup digemari atau tidak untuk anggota yang sangat beragam seleranya yang berasal dari berbagai latar belakang bidang pekerjaan profesi, keilmuan, budaya dan sebagainya.
Dari keberagaman keanggotaan suatu group dalam media sosial itu, maka sikap tenggang rasa pun dapat ditakar supaya tidak sampai berlebih, termasuk dalam kecenderungan yang lebih bersifat pribadi dan mengandung kadar egoistik tinggi. Sebab pembaca tulisan kita pun punya sifat dan sikap yang mungkin sama atau lebih berat untuk diimbangi dalam banyak hal utamanya untuk mengupayakan sikap tenggang rasa.
Karenanya, aktivitas menulis — apapun bentuknya — dapat dijadikan alat penakar tingkat kesabaran diri, rasa tenggang yang sepatutnya selalu berada dalam kontrol yang baik serta daya jangkau psikologis yang menjadi bagian dari bekal dasar menulis untuk lebih baik dan bernas. Sebab beragam latar belakang penikmat sajian dari sebuah tulisan — atau apapun yang kita suguhkan melalui media sosial itu — sesungguhnya mencerminkan sikap dan sifat atau watak dari diri kita yang sejati. Di dalamnya akan memantulkan sosok kita yang asli yang diekspresikan oleh paparan dari ungkapan tulisan yang tersaji itu.
Minimal dengan sikap yang lebih bijak kita pun — sebagai penulis atau penyaji materi yang kita tampilkan lewat media sosial ini — dapat menjadi alat pengukur, apakah ide atau gagasan maupun buah pikiran yang kita bagikan dalam bentuk karya tulis itu bisa diterima dengan baik oleh kalangan penikmat yang beragam latar belakangnya itu. Demikian juga sebaliknya, jika apa kita suguhkan itu dominan mendapat cercaan, cemoohan atau kecaman serta kritik dari para pembaca, itu semua harus dapat diterima sebagai bahan kajian untuk mematut diri. Karena memang sebuah tulisan — termasuk karya cipta yang lain — sejatinya merupakan cermin dari wajah diri kita yang asli dan otentik. Begitulah ekspresi wajah kita yang sesungguhnya.
Banten, 14 September 2023