Surabaya – Sebuah video yang menampilkan pengakuan istri seorang kepala desa di Kabupaten Sidoarjo mengenai dugaan pemerasan oleh oknum polisi Polda Jatim menjadi viral di media sosial. Dalam video tersebut, sang istri mengungkap bahwa suaminya beserta dua orang lainnya ditangkap, dan untuk membebaskannya, uang sejumlah Rp 425 juta telah diserahkan kepada oknum polisi di Subdit Siber Polda Jatim.
Untuk mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut, media melakukan konfirmasi kepada Kasubdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, AKBP Charles P. Tampubolon, pada Rabu (8/1/2025) melalui pesan WhatsApp. Dalam balasannya, Charles dengan tegas membantah adanya pemerasan, penangkapan, maupun kunjungan anggotanya ke pihak yang terlibat dalam video tersebut.
“Tidak benar adanya pemerasan dan pemeriksaan terhadap ibu kades, dan tidak benar adanya polisi yang mendatangi kedua orang itu,” tegas Charles.
Charles juga membantah adanya penangkapan tiga orang sebagaimana disebutkan dalam video. “Betul pak, penangkapan ketiga orang itu tidak ada, dan terkait tujuh anggota polisi yang disebutkan juga tidak ada dari anggota siber Polda Jatim,” jelasnya.
Namun, video tersebut menarik perhatian publik. Dalam video, istri seorang lurah bernama Hendro menyebutkan nominal uang yang harus diserahkan untuk membebaskan suaminya dan dua orang lainnya. “Dhani kena 75 juta, Soleh 125 juta, pak Hendro 220 juta. Itu pun nego, kalau nggak nego kena setengah miliar,” ucapnya dalam video.
Perempuan berinisial NN, yang merekam video tersebut, turut membuat surat pernyataan tertanggal 27 Desember 2024. Dalam suratnya, ia menyatakan bahwa pengakuan istri Hendro adalah benar, dan video yang ia rekam adalah asli tanpa rekayasa.
Pengamat kepolisian Didi Sungkono, S.H., M.H., dari LBH Rastra Justitia 789, menilai bahwa video tersebut layak diperhatikan. “Kalau dilihat dan dicermati, video ini asli, bukan hoaks. Peristiwa hukum dalam video itu logis dan memiliki korelasi,” ujarnya.
Didi menambahkan bahwa penting bagi pimpinan Polri untuk segera menindaklanjuti informasi ini. “Kapolda harusnya menurunkan tim, baik Paminal maupun Propam, untuk memastikan fakta-fakta hukum yang ada,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa hukum pidana tidak mengejar pengakuan semata, tetapi memerlukan bukti otentik. “Namun, mengingat ini melibatkan oknum aparat, pengumpulan bukti bisa jadi lebih sulit karena mereka paham hukum,” katanya.
Meski begitu, Didi menegaskan bahwa Polri sebagai institusi tetap baik, dan kasus ini hanya menyangkut oknum. “Kepercayaan masyarakat terhadap Polri sangat tergantung pada bagaimana kasus seperti ini ditangani dengan transparansi dan integritas,” pungkasnya.
(Redho)