Makassar – Putusan praperadilan Nomor 29/Pid/2025/PN Makassar menjadi titik balik dalam perjalanan hukum Ishak Hamzah, warga Makassar yang sempat ditahan selama 58 hari di Polrestabes Makassar. Putusan itu membuka dugaan adanya rekayasa hukum oleh oknum aparat di Polrestabes Makassar dan Polda Sulsel.
Kuasa hukum Ishak Hamzah, Maria Monika Veronika Hayr, S.H., menilai kasus ini sarat pelanggaran prosedural dan pelanggaran HAM. Ia mendesak Bidang Propam Polda Sulsel untuk tidak diam dan segera menjatuhkan sanksi tegas terhadap oknum penyidik yang diduga terlibat.
“Propam tidak boleh mandul. Kami minta tindakan tegas hingga PTDH kepada oknum yang merusak citra Polri,” tegas Maria Monika.
Kasus ini bermula dari penetapan Ishak sebagai tersangka dalam dugaan penyerobotan tanah dan penggunaan surat palsu. Namun, menurut kuasa hukumnya, penetapan itu dilakukan tanpa dasar bukti yang sah.
Salah satu bukti yang digunakan penyidik adalah salinan buku F kelurahan yang dinilai tidak otentik. “Buku F itu hanya salinan administratif, tapi dijadikan dasar hukum oleh penyidik. Ini bentuk pelanggaran serius,” ujar Maria.
Tim hukum menilai tindakan penyidik tersebut melanggar asas pembuktian dan menunjukkan indikasi rekayasa hukum untuk menjerat kliennya.
Masalah bermula sejak 2008 ketika orang tua Ishak, Hamzah Dg. Taba, melakukan transaksi tanah dengan H. Rahmat alias Beddu. Karena pembayaran tidak dilunasi, pihak keluarga meminta dokumen dikembalikan, namun surat tanah justru telah dipindahtangankan dan diduga dipalsukan.
Ishak kemudian melaporkan dugaan penggelapan surat tanah ke Polrestabes Makassar pada 2012 dan 2019, namun laporannya tidak ditindaklanjuti. Sebaliknya, laporan pihak lawan justru diproses cepat.
“Ini bentuk ketidakadilan yang nyata. Laporan kami diabaikan, laporan pihak lain langsung naik,” ujar Maria.
Tim hukum juga menyebut adanya kekeliruan administratif dalam dokumen tanah yang sebenarnya sudah diperbaiki melalui putusan pengadilan, namun tetap diabaikan penyidik.
Selama 58 hari ditahan, Ishak mengaku kehilangan kebebasan dan nama baiknya. “Saya hanya membela hak warisan keluarga, tapi diperlakukan seperti kriminal,” katanya.
Kuasa hukum menegaskan bahwa kemenangan praperadilan ini harus menjadi momentum bagi kepolisian untuk berbenah. Propam Polda Sulsel diminta menindak tegas oknum yang merusak integritas institusi.
“Kalau Propam tidak bertindak, publik akan menilai lembaga ini hanya formalitas. Ini ujian bagi Polri untuk membuktikan jati diri sebagai penegak hukum yang berkeadilan,” pungkas Maria Monika.
Kasus ini mencerminkan tantangan besar reformasi di tubuh kepolisian. Propam Polda Sulsel kini ditunggu langkah nyatanya—apakah berani menegakkan hukum atau membiarkan ketidakadilan terus berulang.
(Red)